Hanya waktu lebaran kami sekeluarga bisa
pulang kampung di mertuaku, kami selalu berangkat dahulu sebelum lebaran satu
minggunan sebelumnya, kami mudik dengan mobil pribadi dimana anak anak saat itu
masih kecil, sebelum ke rumah mertua aku sempatkan pergi ke rumah omku, aku dan
om akrab karena dia dulu pernah ikut orang tuaku saat bersekolah di Bogor.
Kalau hari libur semesteran, aku sering
diajaknya pulang ke Redjo Legi untuk mencari belut. Depan halaman rumahnya yang
hingga kini merupakan sawah yang terbentang luas, menyediakan banyak belut
untuk kami tangkap dan kami goreng. Nostalgia macam itulah yang membuatku
selalu menyempatkan diri, mampir ke rumah Om setiap kali aku pulang mudik.
Tidak ada yang begitu berubah di rumah Om
sejak dulu. Rumahnya yang berdinding gedek kulit bambu itu terasa sangat
nyaman. Bagusnya dinding gedek macam itu adalah fungsi sirkulasi udaranya yang
sangat bagus, disebabkan gedeknya bercelah-celah, karena jalinan bambunya yang
tidak mungkin bisa rapat benar.
Kemudian di pagi hari, sinar matahari akan
menembus celah-celah gedek itu, sehingga panasnya cukup untuk membangunkan
kami, yang tentunya masih bermalas-malasan di amben. Suatu istilah setempat
untuk balai-balai tempat tidur, yang terbuat dari bambu. Hanya saja rumah itu
sekarang terasa lebih lega disebabkan renovasi yang dilakukan Om beserta istri.
Om sendiri walaupun saat ini usianya sudah
lebih dari 50 tahun, tepatnya 54 tahun, 12 tahun di atas umurku dan 18 tahun di
atas umur istriku, sosoknya masih gagah dan sehat. Tubuhnya yang 180 senti itu
tampak tegap, kekar dan berisi. Khas tubuh seorang petani dan guru bela diri.
Empat tahun yang lalu Bu Lik meninggal dunia
karena sakit sehingga kini Om menjadi duda. Untuk menopang kegiatannya
sehari-hari, Om dibantu pelayan kecil dari kampungnya untuk mencuci pakaiannya
dan masak ala kadarnya.
Apabila sudah tidak ada lagi yang
dikerjakannya, dia pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah Om. Kedua
anaknya sendiri sudah bekerja di lain kota, dan mereka baru pulang kalau
lebaran tiba. Sama seperti tradisi di keluargaku umumnya. Akhirnya Om menjadi
terbiasa hidup sendirian.
Sanak saudaranya yang lain termasuk aku,
sering menyarankannya untuk kawin lagi. Agar ada perempuan yang membuatkannya
kopi di pagi hari atau menjadi pasangannya saat bertandang ke acara keluarga.
Namun sampai saat ini Om masih belum juga
menemukan jodohnya yang sesuai. Walaupun pendidikannya cukup tinggi, waktu itu
sudah menyandang titel BA atau sarjana muda, kegiatannya sehari-hari adalah
bertani dan mengajari seni bela diri kepada anak-anak tetangganya. Dalam hal
bertani, dia menggarap sendiri sawahnya yang cukup luas ini.
Tahun ini aku dan istriku terpaksa pulang
mudik berdua saja. Anak-anakku punya acara sendiri bersama teman-temannya yang
susah aku pengaruhi untuk ikut menemani kami. Ya, sudah. Aku tidak suka memaksa
mereka. Ketiganya sedang beranjak dewasa dan harus bisa belajar mengambil
keputusan sendiri.
Menjelang masuk kota Kroya jam menunjukkan
pukul 2 siang saat aku merasa agak demam. Tubuhku melemah dan kepalaku mulai
terasa pusing. Sambil berpesan agar menyupirnya tidak usah buru-buru, istriku
memberi obat berupa puyer anti masuk angin yang selalu dia bawa saat bepergian
jauh. Sesudah aku meminumnya, rasa tubuhku agak lumayan dan pusingku sedikit
berkurang.
Tetapi tetap saja tidak senyaman kalau tubuh
sedang benar-benar sehat. Menjelang masuk gerbang desa Redjo Legi menuju
rumahnya Om, aku merasakan sakitku tak tertahankan lagi. Kupaksakan terus jalan
pelan-pelan hingga tepat jam 5 sore, mobilku memasuki halaman rumah Om yang
seperti biasanya, menyambut kami dengan sepenuh kehangatan.
Ketika dia tahu aku sakit, dia panggil
embok-embok di kampungnya yang biasa mijit dan kerokan. Suatu kebiasaan orang
Jawa kalau sakit, tubuhnya dikerok dengan mata uang logam untuk mengeluarkan
anginnya. Ketika sakitku tidak juga berkurang, dengan ditemani istriku, Om
mengantarkanku pergi ke dokter yang tidak jauh dari rumahnya.
Dalam perjalanan ke sana, tiba-tiba hujan
turun dengan lebatnya. Tak urung tubuh kami bertiga pun menjadi basah.
Untungnya jarak kami dengan klinik dokter itu sudah dekat, sehingga kami bisa
cepat berteduh di sana. Tanpa khawatir pakaian kami menjadi basah kuyup
karenanya.
Dari dokter itu, aku diberi obat dan disuruh
banyak istirahat. Selesai berobat, ternyata hujan masih tetap deras di luar
sana. Agak lama menunggu, Om menjadi tak sabar. Dia berinisiatif untuk pulang
duluan, bermaksud menjemput kami dengan mobilku.
Aku dan istriku kompak keberatan dengan
rencananya itu. Meskipun klinik sang dokter tidak begitu jauh dari rumah Om,
sekitar 5 kiloan, kami merasa sangat tidak enak hati. Kami merasa telah banyak
merepotkannya sejak kedatangan kami tadi. Om yang baik hati itu tetap
bersikeras, hingga akhirnya kami mengalah.
Aku memperhatikan kepergiannya dengan perasaan
khawatir bercampur kagum. Perasaan khawatir muncul karena aku tidak ingin paman
kesayanganku itu jatuh sakit karena hujan-hujanan. Sedangkan kekagumanku timbul
melihat sosoknya saat ini.
Kemeja kausnya yang basah kuyup oleh air
hujan, membuat tubuhnya yang atletis itu tercetak jelas. Ketika pandanganku
menoleh ke samping, aku bisa melihat pancaran kekaguman yang sama tersiar dari
wajah istriku. Tias segera mengubah arah pandangannya begitu tahu aku
memperhatikannya.
Dalam perjalanan pulang, tak sengaja aku
melirik ke arah istriku. Kuperhatikan wanita itu tak lepas-lepasnya mengagumi
Om secara diam-diam. Apalagi saat menjemput kami, Om hanya mengenakan kaus
singlet tipis dan celana jeans biru ketat. Seakan-akan dia ingin memamerkan
ketiaknya yang berbulu lebat, dan tubuhnya yang terpahat sempurna. Seketika itu
juga aku merasa cemburu dan tidak nyaman dengan tingkah istriku itu….
Sepulangnya dari dokter, lagi-lagi Om
membuatku takjub atas kebaikan hatinya. Dibantu istriku, Om merepotkan dirinya
dengan menyediakan makan malam untuk kami bertiga. Waktu makan malam itu kami
pakai untuk mengobrol dan bersenda gurau penuh keakraban, melepas kerinduan.
Ketika kami menanyakan di mana anak-anaknya,
dengan senyuman ramahnya yang khas, Om menjawab bahwa keduanya masih memiliki
kesibukan di kotanya masing-masing. Kesibukan itulah yang membuat mereka tidak
bisa pulang mudik tahun ini. Seusai makan malam, istriku menyuruhku meminum
obat.
Tak lama aku langsung diserang kantuk yang
luar biasa. Rupanya dokter telah memberikan obat tidur padaku bersamaan dengan
obat demamnya. Akupun langsung tertidur pulas.
Sekitar pukul 10 atau 11 malam, aku tidak
begitu pasti, aku dibangunkan oleh suara berisik amben bambu, disertai suara
desahan dan lenguhan halus dari kamar sebelah. Kantukku masih sangat terasa.
Aku meraba-raba istriku tetapi tak kutemukan dia berbaring di sampingku. Aku
menduga mungkin perempuan itu sedang buang hajat di kamar mandi belakang.
Di rumah Om, kamar-kamarnya memang tidak
dilengkapi lampu. Cahaya dalam kamar cukup didapat dari imbas lampu besar di
ruang tamu. Ruangan yang berbatasan dengan ruang keluarga itu, membuat
cahayanya dapat tembus ke ruangan-ruangan lain di dalam rumahnya.
Suara amben yang terus mengganggu telingaku,
ditambah suara desahan dan lenguhan yang semakin keras, memaksaku mengintip ke
celah dinding di samping kananku.
Apa yang kemudian kulihat di sana langsung
memukul diriku. Akupun menjadi terpana dan limbung. Kepalaku yang pusing karena
sakit langsung kambuh seketika. Aku kembali terkapar dengan jantungku yang
berdegup cepat.
Benarkah sepasang manusia yang sedang asyik
bergumul setengah bugil itu Om dan Tias? Benarkah istriku telah tega
mengkhianatiku? Benarkah Om yang kebaikan hatinya selalu membuatku takjub
kepadanya, orang yang selalu menghiburku jika sedang sedih, orang yang baru
saja mengantarkanku ke dokter, sedang menggauli istriku saat ini? Perempuan
yang seharusnya dianggap sama dengan keponakannya juga?
Apakah kekuranganku Tias? Karena kesibukan
kerja yang selalu merampas waktuku, membuatmu merasa berhak untuk menerima
kenikmatan seksual dari orang lain? Termasuk dari pamanku sendiri? Apakah
memang karena itu, sebagaimana yang sering kamu keluhkan padaku? Ataukah Om
yang sudah 4 tahun menduda yang memulainya terlebih dahulu? Dia merayumu dan
kamupun tak mampu menolaknya? Lelaki tua yang macho seperti diakah lelaki
idamanmu?
Ah, sejuta pertanyaan yang aku tidak mampu
menjawabnya karena semakin menambah pusing kepalaku. Sementara suara berisik
dari amben itu menjadi semakin tak terkendali. Rintihan halus Tias dan desahan
berat Om juga terdengar semakin jelas di telingaku.
Aku tak mampu bangun karena obat yang kuminum
tadi dapat membuatku limbung kalau tidak ada yang menolongku. Aku hanya mampu
mengintip dari celah dinding itu, tak mampu lebih jauh mencegah tindakan tak
senonoh dari pasangan laknat tersebut.
Di sana kulihat Om sedang asyik
mengayun-ayunkan penisnya, yang ukurannya membuatku takjub, ke lubang memek
istriku. Dia melakukannya sambil menciumi bibir Tias sepenuh nafsu. Sialan!
Kenapa bisa-bisanya saat ini aku merasa takjub pada penis pamanku sendiri?
Kepada lelaki tua yang jelas-jelas telah
mengkhianati diriku dengan menggauli istriku? Tetapi memang kuakui, penis
pamanku itu pasti akan membuat lelaki mana saja yang melihatnya, iri….
Selain gede, panjang dan kelihatan keras,
penis itu dihiasi dengan urat-uratnya yang bersembulan di sekujur batangnya.
Kepalanya yang bagaikan topi helm para tentara dan bentuk batangnya yang
melengkung ke atas, membuat penis cokelat muda itu terlihat sempurna di mataku.
Sementara itu sambil tetap berpelukan, tangan
Tias terus memeluk kepala Om. Perempuan binal itu tampaknya berusaha memastikan
agar bibir-bibir mereka tetap saling berpagutan. Saling melumat dan menghisap.
Suara kecupan saat bibir yang satu terlepas dari bibir yang lain terdengar
terus beruntun. Di bawah sana, ayunan penis Om yang semakin dalam menghujam
memek istriku, membuat ambennya terdengar semakin berisik.
“Om, Om, enaakk Om.. teruss Om.. oocchh..
hhmm.. Om..”
Duh, rintihan Tias yang begitu menikmati
derita birahinya, membuat kepalaku seakan terpukul-pukul palu. Darah yang naik
ke kepalaku, membuat pusingku semakin menghebat. Sementara di kamar sana,
desahan Om sendiri tidak kalah hebatnya.
Sebagai lelaki sehat yang telah menduda selama
4 tahun, tentu kandungan libidonya sangat menumpuk. Bukan tidak mungkin dialah
pelakunya. Dia merayu istriku karena dia tahu aku tidak akan mudah terbangun
karena obat demam yang kutelan ini.
”Ssshhh… oohhh… oohh… enakkee, memekmu
Dikkhh…” ujar Om.
”Aahh… sshhh… yaahh… terusshh… Pak… lagihhh…
ooohh.. oohhh… lebihh… keraasshhh….” balas istriku.
Kulihat buah dada istriku yang besar dan
ranum, dengan pentilnya yang tegak mengacung, sudah terbongkar dari balik kausnya.
Itu pasti ulah nakal Om sebelumnya. Dia membetotnya keluar untuk dilumati,
dihisap, dan diremas-remas.
Kedua pentil susu istriku itu pastilah sudah
basah kuyup oleh lumuran ludah pamanku. Ketiak-ketiak istriku tampak sangat
sensual saat dia memegang erat kepala Om dan meremasi rambutnya. Ketiak-ketiak
itu pastilah sudah merasakan jilatan lidah pamanku, yang sejak tadi aktif
bergentayangan menebar nikmat. Kembali aku ambruk ke ambenku.
Rasa pusing di kepalaku sangat menyakitkan.
Tanganku berusaha memijit-mijit kepalaku sendiri untuk mengurangi rasa
sakitnya. Tetapi setiap kali aku mendengar suara erotis dari pasangan mesum
itu, akupun tergoda untuk kembali mengintip lubang dinding di sampingku.
Kulihat penis Om terasa semakin sesak saja
menembus memek Tias. Dia tarik keluar pelan dengan dibarengi desahan beratnya
dan rintihan nikmat Tias, kemudian mendorongnya masuk kembali dengan desahan
yang berulang.
Dia lakukan itu berulang-ulang, desahan nikmat
dari keduanya juga terdengar berulang. Kemudian kulihat tusukan penis Om
semakin dipercepat. Mungkin kegatalan birahi mereka terasa semakin
menjadi-jadi.
Tak lama kulihat Om tidak lagi melumati bibir
Tias. Dia turun dari amben dan menarik pelan pinggul istriku ke pinggiran
ambennya. Lalu dia mengangkat salah satu tungkai kaki istriku sehingga
menyentuh bahunya yang bidang.
Dengan cara itu rupanya Om ingin bisa lebih
dalam menusukkan penisnya ke memek Tias. Akibatnya kenikmatan yang tak berperi
melanda istriku. Dia meremas-remas sendiri susu-susunya. Kepalanya yang
rambutnya telah acak-acakan, terus bergoyang ke kanan dan ke kiri, menahan
siksa nikmat yang tak terhingga.
Melihat itu hatiku menjadi semakin panas.
Mereka benar-benar biadab. Mereka sudah tidak lagi memperhitungkan aku, suami
sahnya dan keponakannya yang kini berada di kamar sebelah, tengah tergeletak
karena sakit yang membuatku merasa hampir mati….
Tiba-tiba selintas pikiran hinggap di
kepalaku. Oh begitu rupanya…..
Aku jadi paham sekarang penyebab peristiwa
terkutuk ini. Sebelum kami makan malam bersama tadi, kami sempat bersalin
pakaian terlebih dahulu. Berbeda denganku yang langsung menggantikan pakaianku
yang basah dengan pakaian cadangan, istriku menyempatkan diri untuk mandi
sejenak. Nah di rumah Om, letak kamar mandi dekat dengan dapur, hanya dibatasi
satu ruangan kosong multi fungsi.
Saat istriku pergi mandi, Om memang sedang
berada di dapur untuk menyiapkan makan malam. Aku pikir mungkin inilah awal
dari peristiwa itu. Istriku yang memang suka dengan Om, sengaja mandi tanpa
mengunci pintunya rapat-rapat.
Tentu saja bagi lelaki yang lama menduda
seperti Om, pancingan Tias itu bagaikan rejeki nomplok. Pamanku mungkin memakai
kesempatan itu untuk mengintip istriku mandi secara leluasa.
Ketika aku kembali mengintip, tahu-tahu
keduanya sudah berganti posisi. Kali ini pamanku sudah berbaring di atas amben
kembali, sementara istriku berada di atas tubuhnya, asyik menungganginya. Om
tampak asyik meremasi pantat Tias, sementara istriku asyik bergerak naik-turun
sambil meremasi payudaranya sendiri.
Tak lama gerakan mereka mulai berubah lagi.
Keduanya bergerak semakin liar. Masih dengan istriku menunggangi tubuhnya,
pamanku bangkit dan langsung membenamkan wajahnya di gunung kembar istriku. Di
sana dia sibuk menyusui payudara istriku bergantian, yang kanan dan yang kiri.
Mendapat serangan yang menggila itu, istriku tampak semakin histeris.
Desahan birahinya terdengar semakin keras,
membuat siapapun yang mendengarnya, menjadi sangat terangsang. Sementara di
bawah sana, penis pamanku tampak semakin mengkilat saja. Berhiaskan lendir
birahi istriku, penis itu keluar-masuk memek Tias dengan cepatnya, membuat
suara ambennya semakin keras terdengar.
Keduanya pun sudah bugil kini. Tiada lagi kaus
putih yang membungkus tubuh pamanku, menyajikan pemandangan yang mengagumkan
dari tubuh berotot lelaki berusia setengah abad, yang mengkilat oleh
keringatnya. Begitu juga kaus tank-top hijau dan celana dalam Tias yang tadi
masih tersampir di salah satu kakinya, sudah hilang entah ke mana.
Membuat lekak-lekuk di tubuh sintalnya
terlihat semakin jelas. Sekarang keduanya tampak sangat seksi dan… sangat
serasi! Sesuatu yang aku benci sekali mengakuinya!!!
Pompaan penis pamanku di memek istriku, suara
beradunya paha dengan paha, desahan berat Om dan rintihan nikmat tak
berkeputusan Tias, membuat simfoni erotis yang terdengar sangat indah di malam
yang dingin dan sunyi ini. Kalau tadi pompaan penis Om tampak cepat, sekarang
kulihat gerakan mengayunnya semakin diperlambat.
Rupanya pamanku sedang mempraktekkan teknik
bercintanya yang baru. Sekitar tiga atau empat kali pompaan biasa, dia membuat
satu hentakan keras dan bertenaga. Tampaknya dia berusaha membuat penisnya
lebih dalam lagi menembus memek istriku. Begitu dia lakukan berkali-kali. Tentu
saja istriku semakin histeris dibuatnya.
Istriku seakan tidak mau kalah dengan Om.
Sambil memeluk leher pamanku yang kokoh, dia putar-putar pinggulnya secara
liar, memainkan penis lelaki tua yang sejak tadi aktif memompa memeknya.
Desahan berat pamanku terdengar semakin keras
dan tak berkeputusan merasakan nakalnya pantat dan pinggul Tias saat memainkan
”tongkat saktinya“. Jeleknya Tias, teknik seperti itu tak pernah dia praktekkan
kepadaku saat kami bercinta. Benar-benar setan wanita itu!!!
Kusaksikan saat ini, mereka sudah sangat lupa
diri. Kenikmatan nafsu birahi telah menghempaskan mereka ke sifat-sifat
hewaniah yang tak mengenal lagi rasa malu, sungkan, iba, hormat dan harga diri.
Mereka sudah hangus terbakar oleh nafsu birahi yang menggelora.
Menjadi budak nafsu setan yang bergentayangan
di dalam diri mereka sendiri. Aku terbatuk-batuk dan mual. Pusing kepalaku
langsung menghebat. Sementara racauan penuh nikmat yang dari mulut keduanya,
terdengar tak berkeputusan dan semakin keras.
Dengan suara yang sengaja kukeraskan aku
mengeluarkan dahakku ke ember yang telah disediakan, disusul dengan
muntah-muntah benaran. Aku berharap dengan tindakanku itu segalanya pasti
berhenti. Mereka akan bergegas menolong diriku.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Suara
amben itu justru terdengar semakin berisik. Sehingga kini ada dua sumber
berisik di dalam rumah ini. Suara manusia yang sedang tergeletak kepayahan di
kamar ini dan suara erotis manusia, berkejar-kejaran dalam nafsu setan di kamar
itu.
Aku tahu mereka dalam keadaan tanggung. Puncak
nikmat sudah dekat dan nafsu birahi untuk memuntahkan segalanya sudah di
ubun-ubun. Mereka pasti berpikir, biarkan saja aku menunggu di sini. Membiarkan
aku sendiri dengan gelisah, pusing, campur sakit hati akibat dikhianati.
Edannya, tak lama aku justru terpengaruh oleh mereka.
Penisku yang ukuran panjang dan diameternya
hanya setengah dari penis Om telah terbangun dari tidurnya. Walaupun pusing di
kepalaku masih tetap menghebat, penisku berdiri dengan tegangnya, terangsang
oleh desahan erotis yang sangat memukau dari kamar sebelah.
Aku berusaha mati-matian untuk meredam penisku
yang terus menegang gara-gara suara erotis itu, sebelum akhirnya aku kembali
tergoda untuk mengintip kembali. Aku ingin tahu sejauh mana pamanku itu bisa
memuaskan Tias, perempuan yang kuat sekali syahwat hewaniahnya.
Saat kembali aku mengintip, keduanya sedang
berancang-ancang untuk berubah posisi lagi. Rupanya gairah seksual yang
menggebu-gebu membuat stamina mereka seakan tiada batasnya. Masih dengan
pamanku berbaring di atas amben, istriku segera memutar tubuhnya.
Kepalanya mengarah ke selangkangan Om,
sedangkan selangkangannya dia arahkan ke kepala pamanku. Oooo… rupanya mereka
ingin saling menjilati kemaluan lawan mainnya, posisi 69…
Kembali desahan berat dan rintihan nikmat
terdengar saling bersahutan. Wajah Tias tampak timbul tenggelam di antara
selangkangan pamanku, begitu pula sebaliknya.
Dalam posisi ini mereka terlihat saling
berlomba memberikan kepuasan dalam menikmati kemaluan pasangannya. Hisapan,
jilatan dan kocokan tangan istriku di penis pamanku beradu cepat dengan
jilatan, hisapan, dan tusukan jari-jari kekar Om di memek Tias….
Posisi cabul yang baru itu sontak membuat
hatiku tambah panas saja. Tias selalu menolak perintahku untuk mengulum penisku
dengan berbagai alasan. Sebaliknya terhadap pamanku, dia melakukannya dengan
senang hati.
Lihatlah itu… betapa intensnya dia menjalari
batangan kaku dan kekar milik pamanku dengan lidahnya… Betapa semangatnya dia
menyedot-nyedot ’helm tentara‘nya… Betapa tekunnya dia menghisap-hisap ’kantung
menyan’ Om… Betapa wajahnya sangat menikmati kegiatan cabulnya itu…
Sebaliknya Om seakan tidak mau kalah. Dia tak
hanya menjilat, menghisap dan menusukkan jari-jarinya ke lubang memek istriku saja.
Om juga turut menjilati lubang anus istriku sambil sesekali jari-jarinya yang
kasar menusuk lubangnya.
Membuat erangan nikmat keduanya, terdengar
semakin keras bersahut-sahutan. Sekali lagi aku hanya bisa merutuk dan merutuk
melihat kenyataan itu. Sungguh bangsat pasangan laknat itu!!!
Adegan seru itu tidak berlangsung lama. Begitu
dirasanya puas, mereka berganti posisi lagi. Masih di atas amben, keduanya
segera memposisikan diri. Tak lama mereka sudah kembali bergoyang-goyang.
Mereka bercinta dalam gaya anjing di kamar itu. Hanya saja bukan lubang memek
istriku lagi yang menjadi sasaran keganasan penis Om, melainkan lubang anus
Tias…
Kulihat Tias tampak termehek-mehek. Merasakan
betapa nikmatnya lubang anusnya, dijejali penis sebesar itu. Memang ada sedikit
bayangan rasa pedih di wajah cantiknya, tetapi perempuan binal itu justru
menyemangati Om agar lebih liar lagi dalam memompa anusnya…
”Aaahhhsss… aahhhsss…. aaahhhsss…
Teeerrruussshhh… Paakkk… Eennnaaakkkhhhh…“
’’Hhhoohhhh… hhhooohhhh… Diiikkksss…. Diikkksss… apaanyaahhh… yaanngghh… hhhooohhh… ooohhh… Ennaaakkkhhh…?“ pancing pamanku.
’’Hhhoohhhh… hhhooohhhh… Diiikkksss…. Diikkksss… apaanyaahhh… yaanngghh… hhhooohhh… ooohhh… Ennaaakkkhhh…?“ pancing pamanku.
“Ittuuhhh… ooohhh…. aaahhhsss…
kooonnntttooolll… Paakkkhhh… Liiikkkhhhsss…
Eennnaaakkhhh…“ sahut Tias.
Eennnaaakkhhh…“ sahut Tias.
“Mmaassaaahhh sssiiihhh caannnttiikkkhhh…
Ennnaaakkkhhh… aahhh… betuuulllsss…
ennnaaakkkhhh… kontoolllsshhhkkuuu… iiinnniiihhhh?“ ujar Om dengan terus menyodok anus istriku tanpa ampun.
ennnaaakkkhhh… kontoolllsshhhkkuuu… iiinnniiihhhh?“ ujar Om dengan terus menyodok anus istriku tanpa ampun.
“Aaahhhsss… ooohhh… aaahhhsss…
bbbeeennnaaarrrkkkhhh… aaakkkhhh… aaahhh…
Eennnaaakkkhhh…. sssuumpppaaahhh…“ balas
istriku dengan matanya yang merem melek keenakan.
Kuakui lubang anusnya masih perawan, karena
Tias selalu menolak kalau anusnya dientot olehku. Bangsat!!! Hanya itulah
ungkapan yang pantas mewakili kekesalan hatiku saat ini kepada Tias….
Gerak dan ayun pasangan laknat itupun sampai
di puncaknya dalam posisi ini. Begitupun ekspresi di wajah mereka. Ketampanan
wajah Om dan kecantikan wajah Tias menjadi jelas terlihat. Desahan berat
pamanku bersahut-sahutan dengan erangan histeris istriku, merasakan nikmatnya
anal seks itu.
Rambut Tias yang indah dijadikan tali kekang
oleh tangan kanan Om. Sementara tangan kirinya, memegangi pinggul istriku
sambil aktif mengocok lubang memeknya dengan jari-jemarinya. Sedangkan kedua
tangan istriku mencengkram pinggiran amben itu dengan erat.
”Pppaakkk… Liiikkkhhh… ooohhh… terusshhh…
Paakkk… eennnaaakkk… Paaakkkk…”
”Ooohhh… Dddiiikkk… Ooohhh… ooohhhh…
aaannnuuusss… mmmuuhhh… eeennnaaakkk… banggeeetttt… ”
”Ooohhh… terussshhh… aaahhh… terussshhh…
Paaakkk… Leebiiihhh… Keraassshhh… Aaahhhh… Aaahhh… Laaggiiihhhh…. ”
Ketika ejakulasi mereka akhirnya hadir,
suara-suara di rumah ini benar-benar gaduh. Aku yang muntah-muntah tanpa henti
dengan suaraku seperti seekor babi yang sedang disembelih bercampur dengan
suara histeris Om bersama Tias, meraih orgasme mereka secara beruntun, diakhiri
ejakulasi yang datang hampir bersamaan.
Untuk sesaat suara amben masih terdengar
berisik untuk kemudian reda dan sunyi, berganti dengan suara-suara kecupan
bibir, suara pujian saling memuja, dan suara nafas yang tersengal-sengal.
Sementara di sebelah sini aku masih mengeluarkan suara dari batukku disertai
dengan rasa mau muntah yang keluar dari tenggorokanku.
Tak lama istriku muncul di pintu. Dipegangnya
kepalaku.
’Ah, kok semakin panas mas, obatnya diminum
lagi ya?’ katanya.
Kemudian dengan kuat tangannya meringkus
kepalaku dan memaksakan obat cair itu masuk ke mulutku. Aku terlampau lemah
untuk menolaknya. Saat jari-jarinya memencet hidungku, aku yang mengalami
kesulitan nafas, terpaksa menelan habis seluruh obat yang disuapkannya ke dalam
rongga mulutku.
Kemudian disuruhnya aku minum air hangat.
Sebelum air itu habis kuteguk aku sudah kembali jatuh tertidur pulas. Praktis
aku tidak punya alibi sedikitpun atas apa yang selanjutnya terjadi di rumah ini
hingga 6 jam kemudian saat aku terbangun.
Jam 9 pagi esoknya aku terbangun lemah.
Pertama-tama yang kulihat adalah dinding di mana aku mengintai selingkuh
istriku dengan Om. Aku marah pada dinding itu. Kenapa begitu
banyak lubangnya sehingga aku bisa mengintip.
Aku juga marah pada diriku sendiri, kenapa aku
yang sakit ini masih-masihnya tergoda untuk mengintip ke dinding itu.
Menyaksikan istriku yang sedang asyik menanggung nikmat, digojlok secara brutal
oleh pamanku.
Tapi saat aku ingin teriak karena teringat
peristiwa semalam, Tias muncul di pintu kamar. Pandangan matanya terasa sangat
lembut dan perhatian. Dia mendekat dan duduk di ambenku. Dia ganti kompres di
kepalaku dengan elusan tangannya yang lembut sambil berkata,
“Mas Roso (begitu dia memanggilku) semalaman
mengigau terus. Panas tubuhnya tinggi. Aku jadi takut dan khawatir. Om bilang
supaya aku ambil air dan kain untuk mengompres kepala Mas Roso”
Mendengar mulutnya menyebut ‘Om’ yang aku
ingat betul sama persis nada dan pengucapannya saat dia asyik bergelut dengan
pamanku semalam, seketika itu darahku mendidih. Tanganku seketika mencekal
blusnya. Aku ingin sekali menampar wajahnya yang cantik itu. Tetapi senyum
teduhnya kembali hadir di bibirnya.
“Hah, apa lagi mas, apa lagi yang dirasakan,
sayang?” ucapnya lembut tanpa prasangka apapun atas perlakuan kasarku barusan,
menatapku dengan air mukanya yang anehnya tampak tetap suci bersih.
Langsung didih darahku surut. Aku tak mampu
melawan kelembutan sikap dan senyumnya yang menawan itu. Kutanyakan padanya di
mana Om sekarang, dengan bola mata berbinar Tias menjawab pamanku sedang berada
di sawahnya. Hari ini giliran dia untuk membuka pematang agar air sungai
mengalir ke sawahnya.
Dia juga bilang agar aku banyak istirahat saja
dulu. Dia sudah menelepon orang tua di Yogya dari HPku, mengabarkan bahwa aku
sakit dan akan istirahat dulu di Redjo Legi selama 3 hari ke depan. Rupanya
demamku sangat parah sehingga aku harus dirawat di Redjo Legi selama 3 hari
penuh. Kemudian dia beranjak dan kembali dengan sepiring bubur sum-sum, aku
disuapinya.
Aku jadi berpikir apa yang sesungguhnya
terjadi tadi malam. Apakah panas tubuhku yang sangat hebat, telah membawaku ke
alam mimpi? Sampai-sampai aku menggigau sepanjang malam sebagaimana kata
istriku, ataukah perselingkuhan Om dengan istriku itu memang benar-benar sebuah
kenyataan? Kembali kepalaku berputar-putar rasanya. Istriku kembali mencekokiku
dengan obat yang dibawanya. Akupun kembali tertidur.
Sebelum aku terlelap benar, istriku dengan
penuh kasih memeluk kepalaku. Dia mengelus-elus kepalaku sambil mendekatkannya
ke dadanya. Pada saat itu aku merasakan semburat aroma yang lembut menerjang ke
hidungku. Aroma yang sangat kukenal, aroma ludah dan sperma lelaki yang telah
mengering. Aroma itu menguar dari payudaranya dan bagian lain tubuhnya. Obat
tidurku tak memberi kesempatan padaku untuk melek lebih lama. Aku kembali pulas
tertidur.
Selanjutnya selama 3 hari ke depan, setiap
malam aku selalu benar-benar terlelap, sehingga tak lagi tahu apa yang sedang
terjadi di antara mereka, Om dan Tias, selama sisa hari-hari itu. Saat
berpamitanpun, aku tidak melihat tanda-tanda mencurigakan itu dari wajah
keduanya saat mereka sedang berpamitan. Keduanya berpisah secara sewajarnya.
Sampai kini, 6 bulan sesudah peristiwa itu,
aku tetap tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah peristiwa mesum itu
hanyalah khayalanku belaka atau memang benar-benar terjadi? Aku tidak mempunyai
alibi apapun untuk mempertanyakan keinginan tahuku pada istriku. Juga tidak
punya keberanian untuk itu.
Aku sangat khawatir akan kehilangan dirinya.
Yang mungkin bisa dan perlu aku lakukan adalah memilih jalur utara yang padat
saat pulang mudik yang akan datang. Juga seterusnya.
Namun yang pasti, jika dugaanku benar istriku dan
Om berselingkuh, aku yakin keduanya tak akan berhenti sampai di situ saja.
Perselingkuhan itu pasti akan terus berlangsung, entah sampai kapan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa di subscibe ya???